INDONESIATREN.COM - Prestasi membanggakan ditorehkan oleh Prof. Eva Achjani Zulfa, S.H., M.H., menjelang akhir tahun 2024. Pada Rabu, 18 Desember 2024, Prof. Eva resmi dikukuhkan sebagai Guru Besar Tetap Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), dengan bidang keahlian Hukum Sanksi dan Restorative Justice. Pengukuhan itu dilaksanakan dalam sebuah acara yang dipimpin oleh Rektor Universitas Indonesia, Prof. Heri Hermansyah, Ph.D.
Dalam pidato pengukuhan yang berjudul “Restorative Justice: Gerakan Sosial Masyarakat Global dalam Upaya Memulihkan Keadilan”, Prof. Eva mengangkat tema yang sudah banyak dibahas, namun tetap relevan dan penting dalam perkembangan hukum pidana di seluruh dunia.
Baca juga: Prof. Eva Achjani Zulfa saat dikukuhkan sebagai Guru Besar Tetap FH UI
Pidato ini tidak hanya menyampaikan pandangan akademis, namun juga mencerminkan pemahaman mendalam mengenai gerakan sosial yang semakin mendapatkan perhatian global, yakni Restorative Justice.
Restorative Justice, yang telah dikenal lebih dari setengah abad, merupakan sebuah pendekatan dalam sistem peradilan, yang menekankan pemulihan dan rekonsiliasi antara pelaku kejahatan, korban, dan masyarakat.
Baca juga: Info Lowongan Kerja Update ke 61
“Konsep ini tidak hanya berfokus pada hukuman, tetapi lebih kepada memperbaiki hubungan yang rusak dan menciptakan keadilan yang lebih holistik,” kata Prof. Eva.
Menurut Prof. Eva, gerakan ini telah menjadi topik sentral dalam diskusi tentang masa depan hukum pidana dan peradilan pidana, terutama dalam merespons perubahan dinamika sosial dan kejahatan yang semakin kompleks.
Baca juga: Info Lowongan Kerja Update ke 60
Prof. Eva mencatat, walaupun tema Restorative Justice telah banyak disampaikan di berbagai forum akademik, namun konsep ini semakin relevan dan menarik perhatian luas. Restorative Justice bukan sekadar konsep hukum, melainkan gerakan sosial yang telah menjadi bahan diskusi hangat, baik di kalangan akademisi, praktisi, maupun pembuat kebijakan di berbagai negara.
Gerakan ini muncul dengan tujuan utama untuk menyembuhkan luka sosial yang timbul akibat kejahatan, serta mengedepankan dialog dan perundingan sebagai alternatif dari sistem hukum pidana yang cenderung berfokus pada hukuman semata.
Prof. Eva meyakini, Restorative Justice memiliki potensi untuk terus berkembang dan mentransformasi cara kita melihat dan menangani kejahatan di masyarakat.
Salah satu aspek menarik dari Restorative Justice adalah penerapannya yang dapat disesuaikan dengan konteks sosial dan budaya di setiap negara. Dalam beberapa tahun terakhir, konsep ini semakin mendapat perhatian. Tidak hanya dalam penanganan kenakalan remaja, tetapi juga dalam konteks yang lebih luas, seperti kejahatan domestik, narkotika, korupsi, pelanggaran hak asasi manusia (HAM), dan bahkan terorisme.
Baca juga: Hadir sebagai Tamu Kehormatan di Acara Wisuda Institut STIAMI, AHY: “Ini Awal Perjalanan Baru”
Restorative Justice menawarkan alternatif penyelesaian yang bisa mempertemukan korban dan pelaku untuk mencari solusi yang lebih manusiawi dan konstruktif. “Namun, penerapan Restorative Justice tidaklah mudah. Setiap negara atau wilayah memiliki karakteristik dan dinamika konflik sosial yang berbeda,” ujar Prof. Eva.
Karena itu, menurut Prof Eva, setiap penerapan konsep ini perlu disesuaikan dengan konteks lokal, baik itu dalam hal jenis kejahatan, struktur sosial, maupun sistem hukum yang berlaku. Sebagai gerakan sosial global, Restorative Justice membawa beragam skema dan pendekatan yang beragam pula, namun tetap berfokus pada prinsip dasar pemulihan dan rekonsiliasi.
Baca juga: Info Lowongan Kerja Update ke 59
Dalam konteks Indonesia, Prof. Eva menyoroti pentingnya transformasi Restorative Justice dalam sistem hukum pidana. Salah satu pencapaian penting dalam hal ini adalah pengesahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang membuka peluang bagi penerapan Restorative Justice dalam penegakan hukum di Indonesia.
Undang-Undang ini memberikan ruang bagi penegak hukum untuk merumuskan model sanksi yang tidak hanya berorientasi pada hukuman semata, tetapi juga pada pemulihan dan reintegrasi sosial.
Baca juga: Info Lowongan Kerja Update ke 58
Namun, meski langkah besar ini telah diambil dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 itu, masih ada tantangan besar yang harus dihadapi. Salah satunya adalah pembaruan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang belum memberikan ruang yang cukup untuk penerapan Restorative Justice dalam proses peradilan pidana.
Prof. Eva menekankan, bahwa pembaharuan KUHAP sangat diperlukan, agar proses penanganan perkara pidana dapat mengakomodasi pendekatan berbasis Restorative Justice, yang lebih berorientasi pada pemulihan daripada penghukuman semata.
Baca juga: Info Lowongan Kerja Update ke 57
Prof. Eva juga menyampaikan, bahwa Restorative Justice akan terus mengalami perkembangan dan transformasi, seiring dengan perubahan modus operandi kejahatan dan model penanganannya. Kejahatan-kejahatan yang lebih kompleks mungkin memerlukan pendekatan yang lebih inovatif dan adaptif.
Lebih jauh lagi, Prof. Eva menegaskan, bahwa Restorative Justice bukanlah sebuah solusi yang bisa diterapkan secara seragam di semua jenis tindak pidana. Penerapannya harus dilakukan dengan hati-hati, mempertimbangkan berbagai aspek, seperti hak korban, keadilan sosial, dan integritas sistem peradilan itu sendiri. Karena itu, para akademisi, penegak hukum, dan pembuat kebijakan harus terus melakukan kajian dan adaptasi, agar konsep ini tetap relevan dan efektif di masa depan. (*)