INDONESIATREN.COM - Ketua DPD RI, Lanyalla Mattalitti memaparkan, penerapan ssitem demokrasi ala liberal Barat itu disumbang dua hal mendasar.
Pertama, adanya praktik penyimpangan yang terjadi di Era Orde Baru terhadap sistem Demokrasi Pancasila. Kedua, para mahasiswa hukum dan kampus-kampus hukum di Indonesia dijejali teori tata negara yang menyatakan demokrasi Barat adalah sistem terbaik.
"Akibatnya pada saat Amandemen Konstitusi kita langsung mengadopsi sistem demokrasi tersebut," ujar Lanyalla dalam Focus Group Discussion (FGD) oleh DPC PERADI Kota Surabaya di Kantor Kadin Jatim, Surabaya, pada Senin, 27 November 2023.
"Termasuk mengganti sistem bernegara Indonesia. Padahal yang seharusnya dilakukan adalah membenahi praktek penyimpangan di Era Orde Baru, tanpa harus mengganti Azas dan Sistem Bernegara yang sesuai Pancasila," sambungnya.
Baca juga: Masa Kampanye Dimulai Besok, Gubernur Jabar Bey Machmudin Imbau Relawan Hingga Parpol Tertib
Dengan penerapan sistem demokrasi ala Barat, lanjut Lanyalla, partai politik dan presiden memegang kedaulatannya sendiri. Bahkan partai politik menjadi sangat dominan, karena mereka yang mengusung dan memilih calon presiden, untuk disodorkan kepada rakyat. Akibatnya, Presiden terpilih akan menjalin koalisi dengan partai politik lewat bagi-bagi jabatan dan kekuasaan.
Jika partai politik dan presiden terpilih menjalin koalisi mayoritas, menurutnya, apapun yang mereka kehendaki pasti akan terlaksana. Pasalnya, partai politik melalui lembaga legislatif adalah pemegang kekuasaan pembentuk Undang-Undang.
"Tidak ada lagi ruang rakyat sebagai pemilik kedaulatan untuk ikut menentukan arah perjalanan bangsa. Karena memang sudah tidak ada Lembaga Tertinggi Negara lagi. MPR sudah bukan lagi lembaga tertinggi. Sudah tidak ada lagi Utusan Daerah dan Utusan Golongan. Semua berada di tangan Partai Politik. Dimana di dalam Undang-Undang Partai Politik, mereka diberi ruang untuk memperjuangkan kepentingan Partainya masing-masing," papar Lanyalla.
Sementara, rakyat yang tidak setuju terhadap produk Undang-Undang hanya diberi ruang untuk mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Lagipula, komposisi Hakim MK adalah pilihan presiden dan pilihan partai politik.
Baca juga: Kredit Motor Matic Vespa Primavera 150 I-Get Cuma 900 Ribuan, Solusi No Budget untuk Dompet Seret
"Memang ada Dewan Perwakilan Daerah. Tetapi DPD di Indonesia bukan pembentuk Undang-Undang dan tidak memiliki kewenangan seperti Senat dalam Sistem Kongres di Amerika Serikat atau Inggris dan Australia. Karena memang Indonesia bukan negara federal," imbuhnya.
Dalam pandangan Senator asal Jawa Timur itu, kekacauan sistem tata negara Indonesia ini sebenarnya bermula saat bangsa ini melakukan Amandemen Konstitusi pada 1999 hingga 2002.
Oleh sebab itu, Lanyalla menyebut DPD RI mengambil inisiatif kenegaraan, dengan mengajak seluruh komponen bangsa untuk kembali menerapkan Sistem Bernegara sesuai Rumusan Pendiri Bangsa, sehingga bangsa ini kembali ke fitrah negara Pancasila, sejalan dengan UUD 1945.
"Penguatan dan penyempurnaan itu untuk memastikan posisi kedaulatan rakyat yang lebih kuat, dan untuk menghindari praktek penyimpangan yang terjadi di era Orde Lama dan Orde Baru. Di sinilah peran penting para Advokat Indonesia untuk ikut dan aktif meresonansikan gagasan demi Indonesia yang lebih baik ini kepada seluruh elemen bangsa," tegasnya.
Baca juga: Dugaan Klinik Alifa Tasikmalaya Lakukan Malpraktik, IDI Jabar Angkat Bicara
Ketua DPC Peradi Surabaya, Hariyanto memaparkan alasan mengapa institusinya menggelar FGD ini. Dikatakannya, demokrasi adalah alat, bukan tujuan. Demokrasi, lanjutnya, harus dibangun dengan rambu-rambu.
"Kalau rambunya tidak jelas, dasar normatifnya jungkir balik, tak sesuai dengan amanat para pendiri bangsa, saya kira kita juga harus hati-hati, ke mana bangsa ini akan dibawa," tutur Hariyanto.
Dia mengingatkan perlunya elemen masyarakat memikirkan kembali tujuan founding fathers saat mendirikan negara ini, termasuk tidak lain adalah kesejahteraan rakyat.
"Kami berharap FGD ini ada tindaklanjutnya. Selalu ditegaskan bahwa kita harus taat pada Pancasila dan UUD 1945. Lah UUD yang mana? Kalau demikian, maka semestinya harus kembali kepada UUD 1945 sebelum diamandemen," demikian Hariyanto.
Baca juga: Forkompimda Jabar dan Relawan Capres-Cawapres Sepakat Wujudkan Pemilu 2024 Damai
Dalam paparannya, Pengamat Ekonomi-Politik, Ichsanuddin Noorsy menyebut Amandemen UUD 1945 tahap I sampai IV amburadul. Menurutnya, hasil perubahan UUD 1945 Thaun 1999 sampai 2002 mengandung kontradiksi, baik secara teoritis konseptual maupun dalam praktik ketatanegaraan.
"Yang menyatakan ini bukan Ichsanuddin Noorsy, tetapi Komisi Konstitusi dalam kajiannya di tahun 2002. Yaitu terdapat inkonsistensi substansi, baik yuridis maupun teoritis. Ketiadaan kerangka acuan atau naskah akademik dalam melakukan perubahan UUD 1945 merupakan salah satu sebab timbulnya inkonsistensi teoritis dan konsep dalam mengatur materi muatan UUD," jelasnya.
Sementara Dosen Fisip UI, Mulyadi menuturkan, ada tiga misi terselubung dalam penggantian UUD 1945, yakni ingin menguasai ekonomi, menguasai politik dan menguasai presiden.
"Coba saja baca dan perhatikan di dalam pasal-pasalnya. Kuasai ekonomi akhirnya dijadikan liberalisme. Di politik yaitu dengan liberalisme politik, adanya gabungan partai seperti Pasal 6A ayat 2. Lalu kuasai pemerintah itu dengan diubahnya penjelmaan rakyat di MPR menjadi pilpres langsung," ungkapnya.(*)